Monday, March 28, 2011

Hakikat Ihklas Yang Sesungguhnya

Tahu kah Anda.. Kunci dari segala aspek kehidupan sebenarnya tidak pernah terlepas dari Ilmu Ihklas ?


Keliru besar apabila ada orang yang menganggap enteng dalam mempelajari Ilmu Ihklas. Kelihatannya sih gampang dan sederhana, kita tinggal katakan " saya Ihklas kok ", namun yang dimaksud bukanlah hal semacam itu. Sedikit rumit karena hal ini akan mencakup segala aspek kehidupan yang sangat mendasar demi melahirkan kepribadian yang terpuji. Tidak sedikit manusia yang bila memberi sesuatu, lantas mengatakan ia sangat ihklas memberinya, dan ini adalah satu kasus yang telah menyimpang menurut saya. Sebab layak nya seperti orang yang sedang tidur, ia tidak pernah katakan kalau dirinya sedang tidur toh ! Jika ia katakan bahwa ia sedang tidur berarti dirinya belum benar-benar dalam keadaan tidur bukan ? atau mungkin hendak mau tidur atau mungkin sedang pura-pura tidur.

Begitu juga halnya orang yang telah memberikan sesuatu kepada orang lain, jika ia katakan dirinya ihklas memberi berarti belum tentu ia berada pada posisi benar-benar ihklas, bisa saja ia memberi dengan harapan kelak menerima sesuatu kembali ( Equivalent ), minimal seri tp kalau bisa lebih gitu ya.. hehe.

Tidak bisa dipungkiri ini lah pribadi-pribadi kita sekarang, tidak lagi dilandasi dengan ketulusan serta keihklasan yang kemudian menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Kuasa untuk memberikan penilaian. Kabaikan yang kita tawarkan tanpa dilandasi rasa ihklas bisa menjadi racun kelak bagi diri kita sendiri. Pemberian yang kita lakukakan bisa saja berbuah dosa kelak yang suatau saat nanti akan diberi perhitungan di hari pembalasan. " Na'uzubilahi min zhalik " berharap pahala malah dapat dosa. Mulai detik ini, hari ini, dan tahun ini, mari sama-sama kita tanamkan hakikat ihklas yang sesungguhnya, jangan sekali-sekali menghitung kebaikan, namun sesering mungkin utuk melupakan kebaikan, dan senantiasa untuk mengingat kekhilafan yang pernah kita lahirkan.

Mari belajar dan lagi-dan lagi guna perbaikan diri.

Monday, March 7, 2011

Makam Kuno Berbentuk Salib Bertuliskan Arab Main

Lebih dari 900 makam kuno ditemukan di sebuah bukit di Desa Tambang Sawah, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Bengkulu.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebong Yustin Hendri mengatakan, ratusan makam yang memiliki nisan yang dinomori itu sudah sejak lama diketahui masyarakat, namun jumlahnya tidak diketahui dengan pasti.

"Warga setempat sudah lama tahu di bukit itu ada makam kuno, tapi setelah kami cek ke lapangan ternyata jumlahnya hampir 1.000 makam dan uniknya semua nisan bernomor," katanya saat dihubungi dari Bengkulu, Selasa.

Uniknya lagi, menurut dia, terdapat satu buah nisan berbentuk salib yang bertuliskan arab gundul.

Saat ini, petugas dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melakukan pengawasan terhadap ratusan makam yang sudah dibersihkan dari lumut itu.

"Kami sudah melaporkan ke Bupati dan DPRD, selanjutnya dalam waktu dekat akan berkoordinasi untuk menindaklanjuti temuan ini," tuturnya, menambahkan.

Yustin menuturkan terdapat berbagai versi yang berkembang di masyarakat terkait temuan ratusan makam kuno tersebut.

Sebagian mengatakan, ratusan nisan yang diberi nomor itu merupakan makam para buruh pekerja tambang emas pada zaman Belanda pada 1905-1938.

"Ada juga yang mengatakan makam itu adalah makam orang Belanda karena ada salib tapi bertuliskan huruf arab," ucapnya.

Untuk meneliti ratusan makam kuno tersebut, pihaknya akan mengundang Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) yang berkantor di Jambi serta Balai Arkeologi Palembang, Sumatera Selatan.




Sumber : Antara.com

Meraih Kebahagiaan Muslimah di Atas Jalan Salaful Ummah

Talak Bagian 1 (Hukum Talak)


Semua yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan kehendak Rabbnya Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.

Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan. Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.

Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.

Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur masalah perceraian ini? Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?

Ketika Harus Berpisah

Perpisahan yang diakibatkan oleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang lebih luas daripada perpisahan yang diakibatkan oleh kematian. Untuk itu, kita harus mengetahui beberapa masalah yang dibahas dalam ruang lingkup perceraian terlebih dulu, sebelum kita membahas hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang wanita setelah terjadinya perpisahan.

A. Definisi dan Hukum Talak

Talak ( الطلاق) menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil dari lafazh لإطلاق yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)]

Pada talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu: [Lihat uraiannya dalam Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383-385)]

Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari kedua belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai melihat keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dan keadaan ini hampir sama seperti seorang suami yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
Talak hukumnya menjadi mustahab(dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa'id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.
bersambung insyaallah

***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:

Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh


Sumber : Muslimah.or.id

Hukum Minta Doa Kepada Orang yg Dianggap Lebih Sholeh

Adapun hukum minta didoakan oleh orang sholeh yang masih hidup merupakan salah satu bentuk tawassul yang masih sesuai dengan koridor sunnah. Hal ini diperbolehkan, ini pernah dilaksanakan oleh para sahabat saat Nabi Sholallahu'alaihi Wassalllam masih hidup dan setelahnya.

Dari Anas bin Malik ra. bahwa Umar bin Khaththab ra. apabila terjadi musim paceklik, ia meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muthalib ra., lalu berkata,
“Ya Allah, kami dahulu bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami, sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah kami hujan”. (HR. Al Bukhari 2 : 398)

Tawassul yang dilarang adalah meminta kepada orang-orang sholeh yang sudah meninggal. Hal ini termasuk perbuatan syirik. Perbuatan ini masih sering dilaksanakan oleh umat islam di Indonesia.

Mengenai pembacaan doa yang ditiupkan pada air putih yang diberikan kepada orang yang sakit atau tanah, apabila dilaksanakan sesuai dengan sunnah maka di perbolehkan hal ini disebut dengan ruqyah. Harap difahami dengan benar mengenai ruqyah ini. Sebab ada Ruqyah yang sesuai dengan Syar'i ada juga yang Ruqyah Syirik.

Saya kopikan fatwa mengenai ruqyah yang menggunakan air.
Semoga Bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh
Abu Luthfi

=================

MEMBACAKAN RUQYAH ATAS AIR DAN MINYAK SERTA MENULISKAN DO’A-DO’A DENGAN ZA’FARAN

Oleh : Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Sebagian orang yang meruqyah dengan ruqyah syar’iyah, membaca ruqyah ke atas air, atau minyak, atau sebagian marahim atau karimat, atau menuliskan beberapa dzikir dengan za’faran di atas kertas, kemudian mengapungkan kertas ini di air, dan dari sana ia meminumnya atau mandi dengannya dan menamakannya dengan jimat. Apakah hukum melakukannya dan melaksanaknnya?

Jawaban
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuhu
Nabi Shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah adalah syirik” [1]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata dalam kitab At-Tauhid, “Ruqa yaitu yang disebut pula Azimah. Ini khusus diizinkan selama penggunaannya bebas dari hal-hal syirik, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini untuk mengobati ‘ain dan sengatan kalajengking”.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Perhatikanlah kepadaku ruqyah kalian, boleh melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik” [2]

Dan beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa dari kalian mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah ia melakukannya” [3]

Telah diriwayatkan bahwa beliau meruqyah beberapa sahabatnya dan Jibril ‘Alaiahis salam meruqyah beliau ketika disihir oleh seorang Yahudi. Beliau Shallallahu ‘alai wa sallam selalu meruqyah dirinya, meludah di kedua tangannya dan membacakan ayat kursi, Mu’awwidzatain, surah Al-Ikhlas, kemudian mengusapkan bagian tubuhnya yang bisa, memulai dengan wajah dan dadanya serta bagian tubuhnya yang di depan.

Dan diriwayatkan dari Salafush shalih membaca di air dan semisalnya, kemudian meminumnya atau mandi dengannya termasuk di antara yang meringankan rasa sakit atau menghilangkan lainnya. Karena Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah penawar, sebagaimana dalam firmanNya.

“Artinya : Katakanlah, Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman” [Fushshilat : 44]

Dan sama seperti ini membacakan di minyak atau pengoles, atau makanan. Kemudian meminumnya, atau berminyak, atau mandi dengannya. Sesungguhnya semua itu adalah penggunaan terhadap bacaan yang mubah ini, yang merupakan kalamullah dan RasulNya.

Dan tidak ada halangan pula menulisnya di kertas-kertas dan seumpamanya. Kemudian mandi dan meminum airnya, sama saja ditulis dengan air atau za’faran, atau tinta, semua itu termasuk dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Boleh melakukan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan”

Maksudnya apabila ruqyah itu dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam

[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang ditanda tangani]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Abu Daud, kitab Ath-Thibb (3883), Ahmad dalam Al-Musnad (2604), dishahihkan oleh Al-Albani, dan hadits tersebut terdapat pada Shahih Al-Jami (1632), As-Silsilah Ash-Shahihah (331).
Tamimah : Sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal atau menolak ain.
Tiwalah : Sesuatu yang dibuat dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat membuat istri mencintai suaminya, atau seorang suami mencintai istrinya (dikutip dari terjemahan kitab Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, pent)
[2]. Hadits Riwayat Muslim, kitab As-Salam (2200), Abu Daud, kitab Ath-Thibb (3886), ini adalah lafazh dari riwayatnya
[3]. Hadits Riwayat Muslim, kitab As-Salam (2199).

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/852/slash/0

Monday, January 10, 2011

Sumpah atas Al-Qur'an

Bolehkah Bersumpah dengan Al-Qur'an?


Ketika kita berbicara kepada seseorang yang terlihat ragu terhadap kita, tentu kita ingin meyakinkannya bahwa yang kita katakan adalah benar. Karenanya kita akan mencari cara agar dia percaya dan yakin dengan perkataan kita. Dan cara yang paling cepat dan praktis untuk memuluskan tujuan kita tersebut adalah dengan bersumpah.

Banyak cara bersumpah yang dipakai orang. Ada yang bersumpah dengan nama-nama orang atau benda yang diagungkan, seperti dengan menyebut nama Malaikat, Nabi, wali, atau Ka'bah. Dan semua ini merupakan cara sumpah yang batil dan termasuk syirik. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

"Barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah maka dia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan." (HR. Abu Daud no. 3251 dan At-Tirmidzi no 1535)

Imam Bukhari dalam Shahihnya menyebutkan cara bersumpah yang dituntunkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barangsiapa yang ingin bersumpah, maka hendaknya dia bersumpah dengan nama Allah atau lebih biak diam." (HR. Al-Bukhari no. 3836)

Bagaimana bersumpah "Demi Al-Qur'an"?

Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam salah satu fatwa beliau menyebutkan, jika yang dimaksudkan adalah Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka boleh. Sebabnya, karena Al-Qur'an merupakan kalamullah. Dan kalamullah adalah salah satu dari sifat-sifat-Nya. Sedangkan seluruh sifat-sifat Allah boleh digunakan bersumpah sebagaimana dibolehkan juga berlindung dengan sifat-sifat-Nya seperti dalam doa isti'adzah ketika mampir ke sebuah tempat,

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

"Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang telah diciptakan-Nya." (HR. Muslim dari Haulah binti Hakim)

Bersumpah dengan sifat-sifat Allah dibolehkan sebagaimana bolehnya berlindung kepada sifat-sifat-Nya

Bersumpah dengan sifat-sifat Allah kedudukannya seperti bersumpah dengan dzat-Nya. Seperti yang disebutkan dalam Shahih Muslim tentang perkataan Neraka, "Cukup, cukup, wa 'izzatika (Demi keagungan-Mua). Dan ini adalah bentuk sumpah dengan sifat. Dan di antara sifat Allah adalah Al-Qur'an. Maka bersumpah Wal Qur'an (demi Al-Qur'an) adalah diperbolehkan. (Disarikan dari perkataan Syaikh Mahir bin Dhafir al-Qahthani hafidzahullah).

Sedangkan bersumpah dengan mushaf, tidak diperbolehkan. Bersumpah dengannya termasuk syirik karena mushaf adalah kumpulan dari kertas dan tinta. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang ingin bersumpah, maka hendaknya dia bersumpah dengan nama Allah atau lebih biak diam." (HR. Al-Bukhari no. 3836)

Bersumpah dengan mushaf adalah haram, termasuk syirik karena mushaf adalah kumpulan dari kertas dan tinta

Tidak boleh pula dia bersumpah dengan menyebut, "Wa Rabbil Qur'an (Demi Tuhan/Penciptanya Al-Qur'an)," karena Al-Qur'an itu bukan makhluk yang diciptakan. Bagaimana kalau mengucapkan, "Wa Rabbil Mushaf"? Juga tidak diperbolehkan karena kalimat tersebut mengandung makna yang berbilang, antara benar dan salah. Karenanya para ulama salaf mengingkari ucapan, "lafadz bacaaanku dari Al-Qur'an adalah makhluk." Wallahu a'lam.

Bersumpah Dengan Meletakkan Tangan di Atas Mushaf

Sesungguhnya bersumpah dengan mushaf Al-Qur'an untuk menguatkan sumpahnya adalah tata cara sumpah yang tidak ditemukan dasarnya dari Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak disyariatkan. (Dinukil dari Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Nuur 'ala al-Darb, hal. 43)

Dalam kitab al-Sunan wa al Mubtadi'aat fi al-'Ibaadaat, Amru Abdul Mun'im Salim menyebutkan bahwa meletakkan tangan di atas mushaf ketika bersumpah termasuk adat dan tradisi Nashrani dalam memberikan kesaksian, pengadilan, dan persidangan. Mereka meletakkan tangan di atas Injil lalu bersumpah akan berkata yang benar. Sementara kita diperintahkan agar menyelisihi mereka, tidak boleh ikut-ikutan cara hidup mereka. Kita dilarang menyerupai cara hidup mereka sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Meletakkan tangan di atas mushaf ketika bersumpah termasuk adat dan tradisi Nashrani dalam memberikan kesaksian, pengadilan, dan persidangan.

Sementara keyakinan mereka bahwa orang yang bersumpah dengan meletakkan tangan di atas mushaf tadi lalu ia berbohong, maka akan buta dan lumpuh, hanya mitos semata. sebuah keyakinan tanpa dasar dan bukti yang muncul dari kejahilan mereka yang sangat lucu.

Memang benar bahwa bersumpah palsu atau dusta adalah dosa besar yang mengharuskan pelakunya bertaubat kepada Allah. Terlebih lagi kalau hal itu dilakukan dengan menggunakan Al-Qur'an. Karenanya ada sebagian ahli ilmu menyebutkan, "Ini adalah sumpah yang menenggelamkan, yakni menenggelamkan pelakunya ke dalam dosa lalu menenggelamkan dirinya di dalam neraka." (Lihat: Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Nuur 'ala al-Darb, hal. 43)

(PurWD/Voa-islam.com)

Oleh: Badrul Tamam